Assalamu 'alaikum wr. wb.
Mohon kesediaan ustadz untuk menjelaskan tentang hukum mengupah jagal dengan kepala, kulit dan kaki dari hewan yang disembelih.
Hal itu mengingat bahwa panitia penyembelihan hewan qurban di kompek
saya sejak dulu sudah terbiasa mengupah jagal dengan bagian tubuh hewan,
seperti kepala, kulit dan kaki.
Pertanyaan saya sebagai berikut :
1. Apakah hal itu dibolehkan dalam syariah Islam? Mohon dalil dan penjelasannya, dan adakah khilafiyah dalam hal ini?
2. Kalau tidak dibolehkan, lalu dari mana uang untuk upah para jagal ini?
3. Bagaimana mengubah praktek yang terlanjur keliru ini biar tidak
menimbulkan pergesekan dan keributan internal? Sebab sebagian panitia
tetap bersikukuh dengan kebolehannya
Sebelumnya saya ucapkan terima kasih dan jazakallahu khairal jaza'
Wassalam
Jawaban :
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Profesi sebagai jagal atau jazzar tentu harus dihargai jasanya. Sebab
kalau tidak ada jagal, kita orang-orang yang awam dan tidak paham urusan
menyembelih hewan akan mendapatkan kesulitan.
Walaupun mungkin dikerjakan bersama-sama dalam satu team, tetapi tetap
saja akan kerepotan. Sebab kerja menyembelih hewan itu butuh
keterampilan dan keahlian tertentu dari orang yang sehari-harinya memang
bekerja sebagai jagal.
Maka sebagaimana kita saksikan, walaupun suatu panitia penyembelihan
hewan qurban terdiri dari banyak personal, tetap saja mereka butuh jagal
yang profesional untuk mengerjakannya.
A. Memberi Upah Buat Jagal : Boleh Bahkan Harus
Dan untuk jasanya itu, para jagal ini bukan sekedar pantas menerima
upah, tetapi justru wajib diberi upah yang sepadan sesuai dengan
keterampilan yang dimilikinya. Sebab mereka telah bekerja dengan
mengerahkan tenaga dan waktunya, maka wajib bagi panitia atau orang yang
memakai jasa jagal untuk memberi mereka upah atas keringatnya.
Untuk itu sejak awal harus sudah ada kesepakatan antara panitia dan
jagal tentang berapa tarif yang dia minta. Juga harus secara tegas
disebutkan, apakah tugas jagal itu hanya sebatas merobohkan hewan dan
menyembelih saja, ataukah diteruskan dengan menguliti, memotong,
mencincang, hingga menimbang dan memasukkannya ke kantong-kantong siap
untuk didistribusikan.
Termasuk apakah panitia akan memberi makan dan minum, ataukan jagal itu
sendiri yang dengan uangnya akan menyiapkan makan dan minumnya.
B. Diharamkan Upah Dari Bagian Tubuh Hewan
Yang jadi masalah bukan tidak boleh memberi jagal upah atas kerja
mereka. Tetapi yang haram adalah mengupah para jagal dari bagian tubuh
hewan yang telah disembelih untuk qurban. Biasanya kepala sapi dan
kambing itulah yang dijadikan alat pembayaran buat para jagal, termasuk
juga kulit, kaki, jeroan dan seterusnya.
Memang dari pada dibuang, kepala, kaki, kulit dan lainnya punya nilai
tersendiri. Lalu kadang panitia secara seenaknya memberikan semua itu
sebagai 'jatah' buat para jagal. Dan oleh karena para jagal ini sudah
dipastikan akan dapat 'jatah' yang ternyata punya nilai jual itu, maka
mereka rela tidak diupah, atau setidaknya merendahkan tarif upah,
asalkan bagian dari tubuh hewan itu jadi hak mereka.
Biasanya pemberian kepala, kaki dan kulit itu memang bukan semata-mata
upah buat jagal, tetapi fungsinya sebagai 'tambahan' dari kekurangan
upah.
Para jagal biasanya memberikan dua penawaran. Misalnya, kalau mereka
dijanjikan akan diberi jatah kepala, kaki dan kulit, maka tarif upah
mereka bisa lebih rendah. Sedangkan bila mereka tidak diberi jatah semua
itu, tarifnya lebih mahal dan profesional.
Dengan dua tawaran ini, biasanya panitia tidak ambil pusing, ambil saja
penawaran yang pertama, yaitu upah tidak perlu terlalu mahal, karena
kepala, kulit dan kaki bisa dijadikan 'tambahan' pembayaran upah.
Padahal nyata sekali bahwa walaupun cuma kepada, kaki dan kulit, yang
memang bisa saja dibuang begitu saja, namun ketika dijadikan 'bagian'
atau 'tambahan' dari upah, hukumnya sama saja dengan upah itu sendiri.
C. Dalil Larangan Upah Jagal Dari Bagian Tubuh Hewan
Larangan memberi upah buat jagal yang diambilkan dari bagian tubuh hewan jelas dan nyata serta valid.
1. Dalil Pertama : Hadits Larangan Mengupah Jagal
Haditsnya diriwayatkan oleh ‘Ali bin Abi Thalib,dimana beliau di masa
lalu pernah berperan seperti 'panitia' penyembelihan hewan qurban
seperti di masa kita sekarang ini.
Beliau saat itu juga menyewa jagal profesional dan memberikan upah yang
layak, namun bukan diambilkan dari tubuh hewan itu. Beliau mengupah
dengan uang yang diambilkan dari sumber lainnya.
أَمَرَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ أَقُومَ عَلَى
بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا
وَأَنْ لاَ أُعْطِىَ الْجَزَّارَ مِنْهَا قَالَ : نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ
عِنْدِنَا
Rasulullah SAW memerintahkanku untuk mengurusi unta-unta qurban beliau.
Aku mensedekahkan daging, kulit, dan jilalnya (kulit yang ditaruh pada
punggung unta untuk melindungi dari dingin). Aku tidak memberi sesuatu
pun dari hasil sembelihan qurban kepada tukang jagal. Beliau bersabda,
“Kami akan memberi upah kepada tukang jagal dari uang kami sendiri”.
(HR. Muslim)
Dari hadits ini, An-Nawawi rahimahullah mengatakan bahwa tidak
dibolehkan untuk memberi tukang jagal yang diambilkan dari sebagian
hasil sembelihan qurban sebagai upah baginya. Pendapat ini juga didukung
oleh pendapat para ulama Syafi’iyahlainnya, dan juga menjadi pendapat
Atha’, An-Nakha'i, Imam Malik, Imam Ahmad dan Ishaq.
2. Dalil Larangan Menjual Kulit Hewan Qurban
Dalil keharaman lainnya adalah dalil umum tentang haramnya menjual daging hewan qurban berikut ini :
مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَتِهِ فَلاَ أُضْحِيَّةَ لَهُ
Orang yang menjual kulit hewan qurban, maka tidak ada qurban baginya. (HR Al-Hakim)
Hadits ini menyebutkan haramnya menjual kulit hewan qurban. Maka
mengupah jagal dengan kulit atau bagian tubuh lainnya hukumnya haram.
Sebab sama saja seperti kita menjualnya kepada pihak lain.
D. Pendapat Yang Membolehkan
Namun kalau kita cari-cari dalam litetur tentang adakah perbedaan
pendapat dalam larangan mengupah jagal in, ternyata memang bisa kita
temukan.
Ternyata ada satu pendapat ulama yang membolehkan memberikan upah kepada
tukang jagal dengan kulit, yaitu Al-Hasan Al-Bashri, yang merupakan
sosok tabi'in di masa lalu. Beliau mengatakan, “Boleh memberi jagal upah
dengan kulit.”
Namun pendapat ini tentu tidak diterima oleh banyak ulama. Salah satunya
Al-Imam An-Nawawi. Beliau menyanggah pernyataan Al-Hasan Al-Bashri
tersebut dan mengomentari bahwa perkataan beliau ini telah membuang
sunnah.
E. Alternatif Sumber Upah
Karena mengupah jagal itu wajib, tetapi haram hukumnya kalau diambilkan
dari tubuh hewan, maka panitia dalam hal ini bisa mencari sumber dana
yang lain, misalnya :
1. Dari Pemilik Hewan
Yang paling mudah dan masuk akal, upah jagal diperoleh dari uang biaya
penyembelihan yang memang sejak awal dikenakan kepada pemilik hewan
qurban.
Dari tiap hewan kambing yang diminta disembelihkan, pemilik hewan
dikenakan biaya khusus penyembelihan di luar harga hewan, misalnya
sebesar 50 ribu atau 100 ribu rupiah.
2. Dari Keuntungan Jual Hewan
Dan bisa juga dana untuk upah jagal diambilkan dari hasil keuntungan
menjual hewan qurban. Sebab panitia yang menyediakan hewan qurban memang
dibenarkan mengambil untuk dari tiap hewan.
Bisa ditawarkan kambing dengan harga 2 juta dengan rentang berat sekian
kilo hingga sekian kilo. Panitia tentu membeli kambing dari sumbernya
tidak dengan harga 2 juta, tetapi di bawah itu, misalnya 1,5 - 1,7 juta.
Ada keuntungan 200 hingga 300 per ekor. Keuntungan 'jual' kambing ini
adalah keuntungan yang halal dan sah.
Maka dari situlah dana untuk upah jagal diambilkan dan tidak boleh diambilkan dari tubuh hewan.
3. Dari Kas Masjid
Kalau kebetulan pengurus masjid juga menjadi panitia penyembelihan hewan
qurban, atas persetujuan dari jamaah masjid itu, boleh saja dana upah
buat jagal diambilkan dari uang kas masjid.
Hal itu mengingat kerja panitia penyembelihan hewan qurban dijadikan
bagian dari program kerja masjid. Maka wajar kalau sejak awal memang
sudah dianggarkan dari uang kas masjid.
Tentu saja penggunaan dana kas masjid untuk mengupah jagal ini harus
disepakati dulu sejak awal, agar jelas dasar hukumnya dan tidak dianggap
sebagai kebocoran atau pengkhianatan pengurus dalam penggunaan uang kas
masjid.
F. Mengubah Kebiasaan Panitia dan Pengurus
Kalau ada panitia penyembelihan hewan qurban atau pengurus masjid yang
suka bertengkar dan berbeda pendapat, tentu hal itu sudah biasa terjadi.
Bahkan secara bercanda sering disebutkan bahwa pertengkaran itu
termasuk bagian dari visi misi dan program kerja unggulan dari pengurus.
Kalau ditanya, pengurus punya program kerja apa? Jawabnya mudah saja :
bertengkar dan berselisih pendapat secara internal. Waduh . . .
Tentu kita tidak ingin kerja pengurus hanya bertengkar dan bertengkar
saja, walau pun memang pada kenyataannya yang terjadi sering begitu.
Berselisih sudah seperti wiridan pagi dan petang.
Maka jalan keluarnya, tidak salah kalau pengurus mengundang ulama dan
ahli syariah yang benar-benar menguasai dan membidangi masalah qurban
ini. Lalu kita duduk dulu bersama dan mengaji secara benar dari sumber
yang paten dan valid. Kita buka ayat Al-Quran, kita bedah isi hadits
Rasulullah SAW, dan kita kaji fatwa dan penjelasan para ulama di
dalamnya.
Toh, biar bagaimanapun pada dasarnya penyelenggaran penyembelihan hewan
qurban ini pada hakikatnya adalah pengamalan dari ilmu yang kita dapat
dari pengajian. Maka seharusnya kita mengaji dulu dengan benar, baru
kemudian beramal dan bertindak.
Semangat menjalankan program kerja tentu harus dihargai, tetapi sebelum
semuanya dilakukan, tentu akan menjadi lebih berkah lagi bila dilandasi
dengan ilmu pengetahuan syariah dan fiqih yang mendalam.
Salah satu saran saya, ketika pembentukan panitia penyembelihan itu
dibentuk, maka yang harus dilakukan justru bikin acara pelatihan dan
kajian fiqih terlebih dahulu, khususnya untuk membahas fiqih qurban.
Materinya cukup banyak dan luas, karena bisa juga termasuk bagaimana
tata cara penyembelihan yang syar'i, mana yang harus dilakukan dan mana
yang tidak boleh dilanggar.
Semoga ke depan kita bisa beribadah dengan pahala plus, karena ibadah
kita bukan didasarkan pada ikut-ikutan, tetapi karena memang kita punya
ilmunya.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA