Idul Adha dan PPMI’98 Mushroom Center
Penulis: Eko Widhananto
Inti qurban adalah pada nilai pengorbanannya, keikhlasan dan ketulusannya, perhatian dan kepedulian, empati dan solidaritas seseorang. Dan ini tercermin dalam konsep mudhahhi (pengkurban)-mustahiq (penerima kurban). Oleh karena itu para Sahabat ra saling berlomba-lomba, untuk memilih jenis hewan qurban terbaik dan termahal seperti onta, dari jenis binatang yang sehat dan gemuk. Ibnu 'Umar ra meriwayatkan: "Umar bin Khathab pernah memberikan uang sebanyak 350 dinar untuk membeli hewan qurbannya, dan menyuruh untuk dibagi pada kaum miskin yang kelaparan"
Di Purwakarta, barang kali Domba Garut masih menjadi primadona bagi pengkurban dalam memilih jenis hewan yang dianggap terbaik karena keunggulannya dibanding jenis domba yang lain. Selain penampilan fisik, bobot bersih daging domba terbilang tinggi. Rasa daging domba pun lebih lezat ketimbang kambing.
Namun juga ada dua pesan mendasar dari sejarah kepatuhan Ibrahim dan digantinya Ismail dengan seekor kambing. Pertama, hati Ibrahim menjadi dekat kepada Allah karena nafsunya telah dibunuh. Kedua, dengan kaum fakir miskin dihubungkan dengan mencintai dalam wujud berbagi kasih sayang dengan sesama manusia. Adapun daging itu sebenarnya hanya makna simbolis. Makna substansialnya adalah terwujudnya perubahan yang lebih besar pada diri pribadi dan masyarakat sekitar.
Dengan makna tersebut di atas, esensi atau nilai ibadah kurban bukan terletak pada besar kecilnya atau sedikit banyaknya hewan kurban yang disembelih, melainkan yang terpenting adalah bagaimana tingkat ketakwaan seseorang ketika melaksanakan ibadah kurban. "Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai keridaan Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya." (QS al-Hajj: 37).
Artinya, semangat berlomba-lomba untuk memilih hewan yang terbaik sebagai persembahan terhadap Allah, yang karena Dia Maha Kaya maka diperintahkan-Nya bagi pengkurban untuk membagikan hewan persembahan tersebut kepada kaum miskin yang kelaparan, haruslah dengan memperhatikan kemampuan daya beli diri pribadi. Jika memaksakan diri dengan semangat “malu” jika berkorban dengan domba kecil sesuai puncak kemampuannya membeli hewan korban, maka itu tanda telah jatuh ke dalam riya’.
Syi'ar qurban bukan ajang pamer kekayaan dan kemewahan, melainkan kebanggaan dan keunggulan beribadah yang ditujukan hanya untuk Allah Yang Maha Kaya, sebagaimana bunyi do'a "wa'r-zuqnâ wa anta khayru'r-râziqîn, "Ya Allah, beri kami rezeki, sebab Engkau adalah sebaik-baik Pemberi Rezeki." (Q.S. Al-Ma'idah [5]:114).
Kisah inspiratif tentang persembahan terhadap Allah adalah kisah Habil dan Qobil. Pada satu hari Nabi Adam mendapat perintah dari Allah agar dijodohkan anak-anaknya secara bersilang, yaitu Qabil dikawinkan dengan kembar Habil dan Habil dikawinkan dengan kembar Qabil. Qabil tidak menerima perintah dan syariat Allah itu karena kembar Habil tidaklah secantik kembarnya.
Kemudian Allah memerintahkan agar kedua anak lelaki Nabi Adam melakukan kurban. Siapa yang kurbannya diterima akan dijodohkan dengan anak yang cantik (saudari kembar Qabil) itu. Habil memberikan kambing biri-birinya yang terbaik, mempersembahkan yang terbaik dari dirinya untuk Allah SWT. Qabil pula hanya mempersembahkan qurban yang terburuk untuk Allah SWT. Maka Allah tidak menerima qurban Qabil, Allah menerima qurban Habil. Turunlah api dari langit menyambar dan menelan kurban Habil. (Pada masa itu tanda zakat atau korban diterima ialah ia akan terbakar apabila diletakkan di padang).
Al-Maidah [27] Dan bacakanlah (wahai Muhammad) kepada mereka kisah (mengenai) dua orang anak Adam (Habil dan Qabil) yang berlaku dengan sebenarnya, yaitu ketika mereka berdua mempersembahkan satu persembahan korban (untuk mendampingkan diri kepada Allah). Lalu diterima korban salah seorang di antaranya (Habil) dan tidak diterima (korban) dari yang lain (Qabil). Berkata (Qabil): Sesungguhnya aku akan membunuhmu!. (Habil) menjawab: Bahwasanya Allah menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa.
Adalah ironis jika hari ini masih banyak umat Islam yang rajin ke masjid, tapi tetap maksiat. Pergi ke Makkah (naik haji), sementara setelah kembali ke negerinya mereka kembali berani berbuat dosa tanpa merasa takut sedikit pun. Tidak ada realitas perubahan yang bisa dilakukannya kecuali hanya sekadar menunaikan kewajiban atau sekadar untuk prestise saja. Di samping itu, jika kita tidak ada semangat berkurban dan mencintai, lebih-lebih kepada rakyat dan masyarakat, bangsa ini lambat laun akan hancur.
Harus diingat, kehancuran suatu bangsa itu dimulai ketika para elite dan masyarakatnya berbuat fasik, zalim, maksiat, dan tidak mengindahkan hukum. Oleh karena itu, kehancuran adalah suatu keniscayaan untuk terjadi. Semua realitas ini adalah disebabkan tujuan menghambakan diri' kepada Allah menjadi salah dipahami.
Di tengah kondisi masyarakat seperti sekarang ini, tentu saja kita rindu terhadap figur suri teladan yang melekat pada diri Rasulullah SAW. Beliau adalah figur yang sangat peka terhadap penderitaan orang lain. Sikap seperti inilah yang tentu saja sangat dibutuhkan pada kondisi kini. Melalui ibadah kurban inilah diharapkan kepedulian kita untuk melaksanakan perintah Allah sebaik-baiknya akan tumbuh berkembang dengan optimal.
Dan belajar untuk peka terhadap penderitaan orang lain itulah yang mendasari dijalankannya PPMI’98 Mushroom Center, yang kini mengembangkan bisnis kuliner berupa olahan Jamur Tiram, yaitu berupa Nuggets Jamur Tiram. Sama sekali tidak berupa MLM, namun sebuah perwujudan kehendak untuk memberi wacana dan solusi bagi anggotanya khususnya dan bagi masyarakat luas umumnya untuk memiliki lahan usaha lain sebagai alternatif menambah penghasilan keluarga. Mudah-mudahan pengembangan bisnis dengan basis beribadah kepada Allah ini mendapatkan ridho dari Dia yang Maha Kaya agar PPMI’98 Mushroom Center semakin dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas. Aamiin.
Wassalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuhu
Eko Widhananto
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !